Monday 23 April 2007

SEPERTI MATAHARI

seperti matahari, cinta ini

tak seorang pun menciptanya

bahkan kau dan aku, bahkan mawar

yang berguru pada musim

serta para rahib

yang tekun menyimak wahyu


mereka tak mampu mencipta cinta

tapi kita yang polos dan berdosa

dapat memilikinya:

tanpa berguru pada musim

dan menjadi seorang pertapa

cinta membuat kita mampu

mengerti segalanya


tiap kali membuka mata

wajahmu dan wajahku ikut terbuka

layaknya sebuah buku

yang dapat dibaca dari arah mana saja

dan memberi makna

sebanyak yang kita minta


tapi, kita tak pernah tuntas

mempelajarinya


maka kita yang jatuh cinta

akan menderita, lebih dalam

dari ratap para rahib

lebih dingin dari nyanyian mawar

di musim kering

RELATIVITY

M. ESCHER, RELATIVITY

IMAJINASI KETUHANAN SHAKESPEARE

Dalam fiksinya yang berjudul Everything and Nothing (Edited and Translated by Andrew Hurley, Penguin Books, 1998; p. 319) Jorge Luis Borges menggambarkan kegelisahan “iman” William Shakespeare dalam kedudukannya sebagai dramawan. Berikut sinopsis fiksi Borges untuk selanjutnya secara spesifik dihubungkan dengan sastra dan teologi:

Menjadi dramawan, baik penulis naskah maupun aktor, berarti mencipta dan menjadi orang lain, sekali pun rekaan. Shakespeare mencipta manusia rekaan seperti Romeo dan Juliet, Hamlet, King Lear, juga Machbet. Dan Shakespeare berusaha menjadi mereka, kendati cuma di atas panggung.

Sayangnya, panggung drama dimulai dari kehidupan nyata. Untuk memerankan tokoh tertentu, seorang aktor melakukan pendalaman watak, gagasan dan tingkah laku dari tokoh yang hendak diperankannya, dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi Hamlet misalnya, berarti menghayati secara intens karakter pangeran yang peragu itu.

Dalam dramaturgi Stanislavskian, intensitas itu sampai pada tahap Shakespeare tak mampu membedakan mana Hamlet dan mana dirinya. Shakespeare telah “sunguh-sungguh” menjadi Hamlet. Tak hanya Hamlet, Shakespeare juga menjadi pandir dalam King Lear, pemain cinta yang tragis dalam Romeo and Juliet, dst. Shakespeare “berlipat-ganda” menjadi sekian manusia.

Mengubah kepribadian menjadi begitu banyak manusia, Sheakespare mengalami dilema baik secara psikologis maupun filosofis: “Siapakah aku? Adakah aku William atau Romeo atau Hamlet? Atas dasar apa semua ini kulakukan? Sejauh mana mereka mampu mengubah kepribadianku menjadi kepribadian mereka? Atau, jangan-jangan kepribadian mereka yang berubah menjadi kepribadianku?”

Menghadapi persoalan yang tak mampu dipecahkan segenap energi jeniusnya, Shakespeare mengadu kepada Tuhan. “Bagaimana semua ini bisa terjadi, Tuhan? Aku hadir di tengah-tengah orang lain bukan sebagai Shakespeare, melainkan sebagai tokoh-tokoh rekaan ciptaanku, saat drama digelar di panggung. Aku telah menjadi semua yang kucipta hingga semua yang kucipta menggambarkan siapa aku. Sudilah Kau memberiku petunjuk mengenai semua ini, Tuhan Maha Mengetahui.” begitu kata Shakespeare.

Dengan jujur dan bijaksana Tuhan menjawab, “Aku tidak berbeda denganmu. Aku juga mengalami apa yang kau alami, wahai Shakespeareku yang malang! Tak satu pun mengenali-Ku di dunia ini, karena Aku menampakkan diri bukan dalam wujud asli-Ku. Seperti kau Shakespeare, keberadaan-Ku ditunjukkan ciptaan-Ku: alam semesta beserta isinya.”

Karya fiksi berhubungan secara generis dengan kehidupan sehari-hari, dengan tradisi pengetahuan di sekitarnya; dan akhirnya membentuk watak, perilaku, dan cara pandang manusia terhadap dunia. Setiap karya fiksi menawarkan kemungkinan untuk dimasuki, dan diperdebatkan, dengan berbagai disiplin ilmu, selera, perilaku, dan kenyataan.

Menghubungkan fiksi di atas dengan teologi mungkin terasa menjemukan, karena baik fiksi maupun teologi memiliki karakter yang meletihkan untuk dipikirkan secara ketat: abstraksinya yang murni, dan jalan pikirannya yang murni spekulatif. Tapi keduanya sungguh-sungguh hadir dalam kehidupan.

Teologi punya sifat sebagai ilmu murni, ia lahir dan berkembang berdasarkan fakta yang tak terjangkau secara empiris: Tuhan. Fakta itu bersifat Absolut dan Menyeluruh (jika logika ini diteruskan: setiap pengetahuan yang bersifat absolut dan menyeluruh niscaya bersifat teologis). Atas dasar dua sifat itu teologi dikonstruksi secara sistematis. Dan tanpa berdasar pada dua sifat itu teologi akan hancur, dan Tuhan akan kehilangan peran di muka bumi.

Bagaimana pengetahuan semacam itu bertahan dalam dunia penghayatan manusia yang tak sistematis, penuh ilusi-ilusi liar, dan kerap tak berdaya menghadapi kenyataan yang tak menentu? Para teolog tak pernah memikirkan dampak psikologis dari ilmunya, sementara para psikolog melupakan sejauh mana ilmu murni dan ketat seperti teologi (termasuk matematika?) membentuk struktur psikologis manusia.

Mengetahui sikap teolog (dan psikolog) seperti itu, Shakespeare dan Tuhan mungkin hanya senyum. Keduanya menemukan identitas yang sama dari sumber yang berbeda, sedang kedudukan keduanya bertolak belakang. Shakespeare kongkret, Tuhan abstrak. Shakespeare menemukan identitasnya sebagai keseluruhan melalui tokoh-tokoh ciptaannya yang abstrak, Tuhan menemukan identitasnya sebagai keseluruhan melalui semesta ciptaannya yang kongkret. Lalu manusia memiliki sifat ketuhanan melalui iman yang dipercayainya, dan Tuhan memiliki sifat kemanusiawian melalui makhluk ciptaannya.

Pengalaman Shakespeare dan Tuhan dalam fiksi Borges tersebut merupakan suatu tragedi bagi kemurnian teologi yang ahistoris, sekaligus komedi yang membebaskan teologi dari penjara kemurniannya. Sederhananya, teologi tak akan pernah kongkret jika hanya duduk sebagai ilmu dengan tanpa diturunkan dalam pengalaman dan dibenamkan dalam bantin kebudayaan. Tuhan tak ditemukan dalam ilmu melainkan dalam intensitas seseorang dalam mengabstraksi serta merefleksikan pengalaman teologisnya, di mana yang ritual bercakap-intim dengan yang kultural. .

Sampai kini belum memuaskan kajian spesifik di mana karya fiksi menjadi wilayah operasi kajian teologi dan agama, sekalipun kajian agama telah mengadopsi teori-teori sastra sebagai khazanah yang memperkaya pengetahuannya. Misalnya dalam Islam terdapat eksperimentasi Nashr Hamid Abu-Zaid mengembangkan teori sastra Amin al-Khulli sebagai proto-idea untuk tafsir Al-Quran, pula Umberto Eco menggunakan semiotika untuk membaca mitologi Kristiani dengan elegan seperti dalam The Name of The Rose.

Namun hubungan fiksi-teologi atau sastra-agama itu masih terbatas pada level metodologi dan belum menjadikan karya fiksi sebagai landasan metodologi tersebut. Maksudnya, menggunakan metodologi sastra sebagai ancilla theologia akan dangkal bila semata berhenti pada pembacaan estetik-teoritik dengan tanpa diikuti penelusuran fenomenologis dari karya sastra itu sendiri. Karena dengan penelusuran fenomenologis itu teologi menemukan bentuk ekspresinya yang kompleks dalam dunia batin manusia, seperti halnya pengaruh karya sastra di hati pembacanya.

Pengalaman Shakespeare di atas, seperti ditunjukkan Borges, merupakan isyarat bahwa karya fiksi bukanlah heretik atau bid’ah dari agama, melainkan suatu ekspresi manusiawi yang niscaya dalam penghayatan iman, sebuah ruang-kemungkinan bagi kajian teologi dan fiksi atau sastra dan agama untuk bergaul lebih kreatif dengan menempatkan karya fiksi sebagai landasan studinya.

Jika ekspresi manusiawi yang niscaya itu diabaikan, teologi akan menguap karena bersikap tinggi-hati dengan malu-malu mengingkari dimensi fiksional pada abstraksinya yang spekulatif dan murni; namun jika ekspresi manusiawi yang niscaya itu diakui, teologi akan menemukan ranah baru untuk mengukuhkan dirinya di tengah spektrum sejarah dan pengetahuan yang kompleks.

Dan di situlah, Borges dan Shakespeare memiliki ruang historis tempat pertemuan dengan Tuhan yang hidup dalam karya-karyanya(kendati mungkin hanya secara literer); walau barangkali baik Borges maupun Shakespeare tidak tergoda untuk mempercayai hasilnya, namun dapat membuka wacana yang lebih kreatif, antara para teolog yang dingin dan kalangan sastra yang sublim, baik dari persepektif religius yang gelisah maupun sekuler yang objektif.

Biar hati kecil dan akal budi bicara, sejujur dan seluasnya…dalam The Winter’s Tale William Shakespeare punya kata:

I that please some, try all, both Joy and Terror

Of Good and Bad, that makes and unfold Error,

In the name of Time, to use my Wings. Impute it

Is not Crime to me…

WASIAT

kata-kata, aku tak mampu

hidup lebih lama darimu:

teruskan hidupku

gemakan jiwaku yang punah


dalam mati kata-kataku bernyanyi

mengantar darahku yang hilang


kata-kata, aku tak mampu

hidup lebih lama darimu:

tiuplah seruling di hati yang patah

sentuhlah bibir yang rindu bergetar


kata-kataku hanyut ke masa depan

meninggalkanku dengan lambung tertidur


jika kaudapati kata-kataku

tergeletak di tepi jalan: tegurlah ia

maka aku yang telah mengabu

akan berdenyut dalam jantungmu

PESAN SASTRA PARA PENDONGENG

PADA malam kelabu di masa kanak-kanak, ketika hantu-hantu dalam khayalan kita bermain layaknya badut-badut yang menyeramkan, kita sering meminta bantuan ibu kita untuk mengusir hantu-hantu itu. Ibu kita tak akan mengmbil tindakan gila dengan memberi anaknya sebuah kapak, tetapi memberi kata-kata yang disusun dalam dongeng yang penuh jebakan. Hantu-hantu itu pun lari terbirit-birit, takut pada kata-kata ibu kita; kata-kata murni yang menyimpan tenaga luar biasa, nyaris sama dahsyatnya dengan bom atom bikinan ilmuwan eksentrik yang beruntung.

Kata-kata dalam dongeng, itulah rahasia di balik kecerdikan Aladdin menyelamatkan diri dari muslihat penyihir jahat, senjata rahasia Syahrazad selamat dari ancaman Syahjehan, dan mantra misterius yang membuat unta milik Ali Bhaba bisa bersikap sama bijaknya dengan seorang filsuf yang menyamar menjadi seekor binatang. Dalam kantuk yang berat kita terus memikirkan kata-kata hebat dari Kisah 1001 Malam itu. Begitu dongeng berhenti ibu kita segera melepas bermacam fantasi dari alam pikirannya, keluar dari alam dongeng yang baru dikisahkannya, sambil mengusap wajah kita dengan khidmatnya.

Kata-kata seorang pendongeng memang tidak mampu mengubah mineral menjadi anggur, tapi mampu mengubah perasaan dan pikiran manusia. Komunikasi yang dibangun melalui dongeng tidak hanya sanggup mengusir hantu-hantu pengancam akal murni seorang bocah, tetapi mampu membentuk karakter, wawasan dan kosmos secara kreatif, pada diri narator dan pendengarnya. Terciptalah sebuah evolusi kesadaran yang dicipta melalui aktivitas berbahasa yang konstitutif dalam tinjauan fenomenologis dan komunikatif menurut bidang performasi-artistik.

Kejutan besar dalam model komunikasi dongeng adalah tiadanya gangguan walau seberapa besar kejutan dihadirkan: dongeng, yang merupakan genre sastra paling radikal dalam mengolah realitas berdasarkan fantasi, mampu menghadirkan efek dramatik melalui bahasa literer yang alamiah, nyaris setingkat dengan bahasa sehari-hari. Sifat dongeng ini membuka peluang bagi manusia dengan intensi sastra terbatas seperti ibu kita untuk menjadi seorang kreator bahasa yang elegan dan independen,karena bekerja di luar pengawasan badan estetika bernama kritikus sastra.

Kita boleh menuduh ia, ibu kita sang pendongeng, tidak orisinal karena menggubah dongengnya dari Kisah 1001 Malam. Namun itu keliru, karena menggubah adalah pekerjaan yang sarat kretivitas, baik bahasa maupun interpretasi. Di samping itu, kerja mendongeng ibu kita menunjukan posisi kreatifnya yang lain, yaitu sebagai Promotheus yang mencuri api-sastra dari tungku peradaban untuk menerangi nalar anak-anaknya yang masih dungu, sekaligus sebagai penyambung satu peradaban dengan peradaban lain dan penghubung dunia masa-lalu dengan masa-kini dalam bentuk pengalaman lingustik yang kongkret. Bila dunia sastra modern menyingkirkan para pendongeng sebagai Promotheus-nya, ia akan kehilangan akses dan investasi kultural yang besar dan strategis.

Terlebih sifat tekstual sastra modern, yang terbentuk sejak mesin-cetak Guttenberg, membuat ia semakin dibatasi abjad dan kertas sehingga pasif dalam berkomunikasi dengan pembaca, personal dan terutama kolektif. Hubungan semacam itu tidak terjadi pada dongeng, di mana narator dan pendengar dapat berkomunikasi dan membentuk cerita secara langsung dan bersama-sama. Dengan duduk dan diteruskan sebagai dongeng, karya sastra akan membentuk diskursus yang langsung berhubungan dengan nilai-nilai historis dalam kehidupan sehari-hari, untuk kemudian menjadi media pengangkat dan penyaring nilai-nilai tersebut. Sastra sejati tidak berhenti sebagai teks di atas kertas, karena hakikat sastra adalah membaca dan menulis dengan menghadirkan alam subjektif (personal) ke dalam alam objektif (sosial) melalui kerja permainan berbahasa, agar makna-makna tidak membeku dalam kungkungan kuasa normativitas yang menahan gerak Heraklian dinamika manusia.

Pola komunikasi dongeng semakin terbuka untuk dihadirkan dalam konteks sosial kekinian, di mana gagasan dominan di ruang publik dikuasai aparatus ekonomi dan politik, dan bahasa telah menjadi agen penyebarannya yang paling progresif. Setiap kata, baik di pikiran maupun yang lidah kita, adalah instrumen pereduksi kesadaran dari gagasan dominan itu. Dongeng memang tidak mampu mengubah dunia sekuat rekayasa sosial para pemimpin politik, namun setidaknya dapat membuka kemungkinan dialog dengan nilai-nilai yang telah dibunuh dan makna-makna yang telah menjadi fosil atau abu. Dongeng menghidupkan spirit berbahasa yang telah mati, yang jika diolah kembali berdasarkan prespektif yang canggih bukan mustahil akan menghasilkan formula baru dalam cara kita memandang dan membentuk dunia.

Maka biarkan ibu kita menjadi pendongeng, menjadi aktris, menjadi seniman karakter dan bahasa. Dongeng adalah drama yang dipentaskan bukan di atas panggung, tapi di atas kehidupan. Seperti drama, terlibat dalam dongeng mengangkat posisi kita ke alam transenden, di mana nilai-nilai yang mengikat kita dapat diteliti, diubah dan diperankan. Dongeng tak ubahnya laboratorium manusia di mana impian, gagasan, dan karakter diobservasi di kamar bedah imajiner, kemudian diterapkan dan dilepas kembali ke habitatnya di alam nyata.

Dongeng, menyebut salah satu buah terbaiknya, dapat ditemui pada Kisah 1001 Malam. Kebudayaan Arab yang berkembang melalui pola hidup nomaden di padang pasir amat membutuhkan bahasa sebagai sumber kekuatan mental bertahan hidup. Penyair dan pendongeng memiliki posisi sentral di dalamnya (bahkan dalam kronik sejarah disebutkan terdapat sebuah suku yang seluruh anggotanya adalah penyair). Melampaui fungsinya sebagai pelecut semangat mengembara dan perang antar suku, mereka memiliki peran politik, estetika, spiritual, bahkan mistis. Sebuah kebudayaan di mana realitas dan imajinasi menyatu dalam bahasa dan mengental dalam kognisi, afeksi dan aksi di lapangan historis.

Sumber-sumber energi dan inspirasi dari geo-budaya yang muncul di masa kemudian hadir sebagai formula penyegar bahasa dengan filosofi dan spritualitas. Agama Yahudi dan Kristen yang telah hidup lama di Arab patut disebut sumbangannya, diteruskan agama Islam yang dibawa seorang nabi dari golongan Arab tulen sehingga berhasil menjadi sumber energi dan inspirasi yang relatif dominan. Pada saat yang sama komunikasi budaya antar suku, agama, dan geografi memberi sumbangan unik yang tidak kecil, yang cita-rasanya dapat kita rasakan sampai hari ini.

Di atas landasan yang luas dan kokoh itulah Kisah 1001 Malam lahir, tumbuh dan berkembang. Dengan sumber yang berlimpah ia memiliki banyak kemungkinan untuk terus dieksplorasi, di mana setiap pendongeng memiliki kebebasan memberi sentuhan variasi, baik pada bahasa (style) maupun isi (content). Sedang pola hidup nomaden padang pasir, yang meniscayakan mobilitas sosial terus-menerus, menjadi mesin penyebarannya yang efektif sekaligus menyatukan bangsa Arab berdasarkan spirit berbahasa yang kuat.

Satu hal yang sering menjadi pusat perhatian dalam dongeng legendaries ini adalah siapakah yang mencipta dongeng-dongeng yang dikisahkan Syahrazad kepada Syahjehan selama seribu satu malam. Padahal "misteri Syahrazad" ini ibarat "lubang hitam" yang membidani kelahiran dan pertumbuhan dongeng monumental ini secara terus-menerus, di mana dengan menihilkan klaim kreator atasnya berarti dongeng ini membuka kesempatan kepada siapa saja untuk menjadi kreatornya, pendongengnya, dengan memberi sentuhan kreartif atasnya. Jadi, bila Nietzsche pernah menulis bahwa setiap orang adalah filsuf menurut kapasitasnya masing-masing, Kisah 1001 Malam mengatakan bahwa setiap orang adalah pendongeng menurut ukuranya masing-masing.

Bagi akal literar pengemar teka-teki, "misteri Syahrazad" setidaknya mengandung dua hal yang petut dicurigai. Pertama, hubungan penuh jebakan antara Syahrazad dan Syahjehan, antara Syahjehan dengan Syahrarar (yang hendak membunuhnya namun selalu gagal karena Syahjehan selalu terjaga di malam hari untuk mendengar dongeng-dongeng Syahrazad), dan Syahrazad dan dongeng-dongengnya.

Masing-masing hubungan itu membuka kemungkinan dalam bermain-main plot demi menghasilkan struktur cerita yang kuat dan canggih. Dan plot tak sekedar plot itu sendiri. Plot mengandaikan aktus manusia dalam menjalani berbagai peristiwa, yang di dalamnya terdapat hubungan dengan waktu, baik waktu astronomis-kosmis maupun historis-antropologis. Pertemuan dua model waktu ini, ditambah kedalaman dalam mengeksplorasi psikologi para tokoh cerita, akan menghasilkan ruang eksperimen yang luas dalam kerja kreatif para pendongeng.

Kedua, hubungan pendongeng (narator) dengan dongengnya. Hubungan ini polarisasinya ditentukan oleh faktor idealis di mana pendongeng biasa menyusupkan sebentuk gagasan kepada pendengarnya. Gagasan itu dapat dihasilkan misalnya dengan membuka hubungan literer dengan tradisi intelektual dan spirit di luar dongeng itu sendiri. Maka bukan sesuatu yang muskil jika seorang teolog menjadikan keselamatan Syahrazad sebagai ilustrasi campur-tangan Tuhan terhadap hidup-matinya segala-sesuatu, atau seorang penguasa menjadikannya untuk menunjukkan adanya legitimasi ilahiat terhadap kekuasannya. Hubungan yang sama dapat dilakukan seorang astronom, filsuf, mistikus, atau seorang pecinta yang gigih.

"Misteri Syahrazad" seakan hendak mengatakan bahwa dengan ketrampilan bercerita kelas satu, ditambah kegilaan berkhayal dalam dosis yang tepat, kehidupan seseorang pendongeng, mengingat bobot dan spektrumnya, adalah sebuah potret spesifik yang menarik untuk diolah dalam tradisi dan cita-rasa sastra modern. Dan inilah yang dilakukan oleh Salman Rushdie dalam Haroun and The sea of Stories dan Naguib Mahfouz dalam Alfu Laila wa Laila wa al-Nahr.

Namun Kisah 1001 Malam, yang lahir dari kebudayaan Arab, mungkin tidak menarik bagi seorang esensialis kepada batu, yang mempercayai keaslian budaya suatu bangsa dengan mengabaikan hubungan saling mempengaruhi dengan budaya bangsa lain. Namun tak seorang pun dapat mengingkari kekuatan literer dan komunikasinya, baik antara narator dan pendengarnya, manusia dan dunianya, maupun bangsa dan kebudayaannya.

Dan hilangnya kekuatan komunikasi itulah yang membuat kita tak bisa menyelamatkan Serat Centhini dari kesadaran orang Jawa sekarang, La Galigo dari kesadaran orang Sulawesi kini, atau Ramayana dan Mahabrata ketika para dalang semakin kalah pamor dari Doraemon dan Tom and Jerry. Sebelum semua itu menjadi fosil dari praktek politisasi budaya yang orientasinya kelewat ekonomistik, pada dasarnya kita telah ikut melenyapkannya sejauh bahasa yang membentuk dunia kita tetap dibiarkan kehilangan konsentrasi historis dan fenomenologis terhadap dunia yang secara kosmik belum terakses bahasa Indonesia, namun secara praktis menjadi bagian sehari-hari kita; singkatnya, semua itu ada, namun tidak lagi hidup dalam batin kita, karena substansinya tak lagi terakses bahasa yang membentuk kesadaran kita.

Dan "misteri Syahrazad" adalah permaian bahasa yang dapat dijadikan cermin atau bahkan terapi untuk mengolah berbagai fosil nilai dan makna dalam kebudayaan kita, setidaknya agar kita tidak bersikap mentah terhadap nilai-nilai dan makna-makna itu. Siapa pun terikat komitmen untuk mengolah fosil-fosil itu, karena setiap orang pada-dasarnya adalah "ibu" yang melahirkan bahasa –media untuk mendongeng, tanda eksistensi humaniora, dan layar pengungkap dunia di mana manusia hidup dan mati.

BORGES DAN EKSPERIMENTASI SASTRA RELIGI

Hubungan sastra dan agama telah terjalin sejak keduanya lahir dalam sejarah. Kitab suci agama-agama, yang monoteis dan yang bukan, ditulis dalam bentuk sastra. Sementara di luar wilayah revelasi atau kewahyuan, banyak sastrawan menulis karyanya sebagai ungkapan iman kepada Tuhan.

Dalam beberapa prosanya, Jorge Luis Borges mengambil posisi tersebut, bahkan dengan cara yang amat unik: ia tidak mengklaim diri menganut iman tertentu, namun prosa-prosanya merefleksikan berbagai pemikiran keagamaan (terutama teologi dan mistisisme).

Baik Yahudi, Islam, Hindu, bahkan “agama pagan” seperti Zoroaster dibahas Borges dalam prosa-prosanya. Anehnya, Borges tidak banyak membahas teks-teks Kristen Roma, agama yang dianut mayoritas penduduk Argentina, negeri kelahiran Borges. Barangkali ia membutuhkan jarak refleksi untuk membentuk perspektif literernya, sehingga justru membahas agama-agama yang “jauh.”

Di samping itu, posisinya sebagai seorang sekuler dan gnostik (orang yang mempercayai pengetahuan sebagai jalan menuju kebijaksanaan ilahi) memudahkan Borges melewati berbagai “hambatan iman” dari masing-masing agama yang dieksplorasi dalam karya-karyanya.

Nalar tak terhingga

Terdapat semacam sistem nalar tertentu yang digunakan Borges dalam membahas ajaran suatu agama. Sistem-nalar itu diantaranya “logika ketakterhinggaan” dalam teologi setiap agama, di mana Tuhan diasumsikan melampaui kategori-kategori logika formal. Dari logika itulah setiap agama mereguk sumber universalitas sehingga melampaui partikularitas.

Namun logika tersebut tidak dipahami sebagai ajaran teologi yang tak tergugat, melainkan didiskusikan dengan berbagai temuan humaniora mutakhir, bahkan yang lahir di ranah sekuler. Misalnya dalam Tlon, Uqbar, Orbis Tertius, ia menjadikan teologi sebagai ibu sekaligus kritik terhadap filsafat idealisme.

Idealisme sebagai aliran filsafat yang deterministik, di mana asal-usul serta perkembangan sejarah-semesta didasarkan pada kekuatan supra-human, sebenarnya menyerupai teologi. Kekuatan supra-human tersebut tak jauh beda dengan ide mengenai Tuhan dalam teologi. Hanya, dalam idealisme tidak terdapat klaim ketuhanan secara gamblang, pula tak ada ritus dan liturgi.

Bagi Borges, gagasan semacam itu hanya mungkin terwujud sejauh manusia mampu mengubah konsep ontologi sebuah gagasan (dalam hal ini idealisme.) Cara yang paling radikal adalah melalui bahasa, yaitu dengan menghapus seluruh kata benda dan menggantinya dengan kata sifat dan kata kerja. Dengan tidak adanya kata benda, setiap materi di alam semesta tidak lagi definitif, batasnya mengabur, sehingga menjadi “tak terhingga” alias universal, sama seperti Tuhan dalam teologi dan kekuatan deterministic dalam idealisme.

Dengan bakat dan visi litererya, Borges membuat teologi, filsafat dan linguistik saling berinteraksi secara cerdas dan kreatif. Ketiganya duduk secara sejajar dan terbuka. Dan dari sana sastra dan pengetahuan menemukan kemungkinsan baru untuk terus mencipta, tak lagi mandeg oleh batas-batas disipliner yang kaku dan dogmatis.

Meta-psikosis

Dalam karyanya yang lain, Pendekatan terhadap Al-Mu'tasim, ia memuji pandangan teologi sufi agung asal Persia Fariduddin Attar yang terkenal dengan karyanya, Musyawarah Burung (Mantiq at-Thair). Dalam prosa tersebut, Borges menyebut Attar bukan saja berhasil mencipta sebuah pandangan dunia yang utuh dan koheren, melainkan mampu membentuk buah pikirannya itu sebagai sistem nalar yang menyeluruh dan, oleh sebab itu, tak terhingga alias universal.

Untuk mencapai tingkat penghayatan seperti Simurgh (burung simbolis Attar tentang universalitas), perlu melewati tahap-tahap perkembangan psikologi dan intelektual yang penuh paradoks dan dilema. Di satu sisi tahap perkembangan tersebut harus dilalui secara sadar mengingat sifatnya yang intelektual bahkan filosofis, di sisi lain mencapai penghayatan seperti itu membuat seseorang dalam keadaan ekstase, tak sadar.

Spiritualitas Simurgh adalah resultan dari dua paradoks di atas. Seorang yang mampu menjadi Simurgh, ia telah mencapai semacam jiwa universal yang ilahi. Kondisi semacam itu oleh Borges disebut meta-psikosis. Temuan Borges mengenai Attar tersebut tepat, mengingat Attar adalah seorang sastrawan yang sangat dipengaruhi filosofi mistis Ibn 'Arabi mengenai penyatuan-Tuhan-dan-makhluknya (wihdatul wujud; unity of God; manunggaling-kawula gusti).

Yang menarik, Borges menafsir gagasan Attar itu dengan tidak sebagai gagasan khas teologi Islam (Kalam). Ia mengganti burung Simurgh bikinan Attar dengan seorang mahasiswa muslim di Bombay yang terlibat perang dengan kelompok Hindu. Sehabis perang, ia mencari jati diri hingga mencapai tahap penghayatan hidup yang melampaui batas iman kedua agama tersebut.

Selain itu, ia memaparkan perkembangan psikologi si tokoh sebagai misteri atau lebih tepat teka-teki, mirip dalam karya Attar. Bedanya, bila dalam Musyawarah Burung, Simurgh adalah penjelmaan tunggal dari 30 ekor burung yang mampu mencapati wilayah Kaf, dalam Pendekatan terhadap Al-Mu'tasim si mahasiswa tak lain adalah gagasan sekaligus guru spiritualnya sendiri, namun pembaca tak langsung mengetahui bahwa guru spiritual dan gagasan tersebut tak lain adalah si mahasiswa itu sendiri.

Cara dan pandangan yang sama juga dilakukan Borges dalam The Mirror of Enigma. Dalam karyanya itu ia menafsir pandangan Isaac Luria, mistikus Kabbala dalam tradisi mistik Yahudi, dengan cara bermain-main semantik terhadap teks Yudaisme kuno tentang makna cermin dan teka-tekinya, sehingga Tuhan dan manusia bisa saling “menyimpan dan mengungkapkan.”

Sastra religi

Apa yang dilakukan Borges di atas dapat dijadikan alternatif bagi khazanah sastra religi kita yang terkungkung dua kecenderungan utama. Pertama, cenderung dibatasi oleh benturan antara agama yang terlalu memandang ke akhirat dengan tuntutan realitas sosial di dunia yang pahit. Pandangan semacam itu dapat ditemui dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya AA Navis.

Kedua, terpaku pada tema sufisme yang cenderung spiritual, di mana Tuhan hadir melalui penghayatan psikologi yang (seakan-akan) bertentangan dengan pengetahuan rasional, sehingga corak karyanya cenderung gelap. Misalnya beberapa cerpen Danarto.

Dua kecenderungan itu tidak buruk. Namun bila sastra religi kita melulu terkungkung olehnya, eksplorasinya bersifat permukaan. Teologi dan mistisisme bukan pengalaman batin semata, melainkan juga pengalaman filosofis, keduanya lahir dan berdiri di atas landasan nalar tertentu yang sumbernya bahkan jauh di luar religi. Tak seorang pun mampu melepaskan teologi Islam (Kalam) dari filsafat Yunani. Juga Simurgh bikinan Attar yang diolah dari Shahnameh, mitologi Zoroaster Persia.

Dengan mengambil “landasan nalar” dalam teologi dan mistisisme sebagai tantangan literer, sastra religi kita dapat memiliki watak kreatif yang lebih bandel. Pengaruhnya akan lebih kuat baik dalam sastra maupun agama. Tantangan semacam itu tidak asing dalam tradisi sastra dan agama kita. Hamzah Fansuri dan Ar-Raniri contohnya.

Dan bila kita ingin tema agama dalam sastra dapat berpengaruh hingga di luar batas-batas keduanya, perlu dilakukan diskusi dengan temuan-temuan mutakhir dari disiplin lain, juga dengan menggali sampai ke landasan nalar atau epistemologi-nya, seperti dilakukan Borges. Dengan cara demikian agama dan sastra dapat berinteraksi secara lebih kreatif dengan dunia di luarnya.

SAJAK OEDIPUS KEPADA IBUNYA

bila kau tinggalkan aku

dengan hati berapi

dan bila aku kau tinggalkan

dengan mata terbakar:

pertemuan kita sempurna


tapi sebelum aku mati

kau harus ingat satu hal:

di sini

antara lidah dan rambutku

masih tersimpan pesan-pesanmu

dan getar suaramu

tetap berdenyut di leherku

menjadi nyawa

yang enggan pergi


kau buat aku tak bisa hidup

dan tak bisa mati

menjadi hantu abadi

melayang di atas hidupmu


coba tengok sekali lagi

lihat padam mataku padam

lihat dadaku lihat:

tak ada dendam

tak ada kekejian

keduanya telah musnah

ke dalam cinta yang aneh


dan bila kau sentuh pelipisku

dan kau usap daguku

akan kau dapati parasku

pada paras anak lelakimu

yang tak lagi mengenalmu

sebagai ibu yang kudus

tapi mengenalmu

sebagai rahim dunia

tempat kebaikan dan kejahatan

berawal dan berakhir


kini, dengan segenap kegilaan

kita terima segala kutukan:

mataku yang terbakar membuta

dan hatimu yang berapi

menghancur di hatiku